Scroll untuk melanjutkan membaca
CerpenSastraTerkini

Perempuan Akademisi untuk Negeri

Avatar photo
×

Perempuan Akademisi untuk Negeri

Sebarkan artikel ini

“Fatimah apakah kamu masih percaya dengan kemerdekaan indonesia pada hari ini,” tanya Elsa Fiana, wanita yang kerap disapa Elsa itu pada adik sepupunya.

“Iya percaya mbak, kan memang sudah merdeka negara kita. Kenapa mbak masih ragu?” jawab Fatimatus Zahrah yang biasa di panggil Fatimah oleh teman asrama di al-Manziliyah itu, dengan bertanya balik ke pada Elsa.

Belum dijawab pertanyaan dari Fatimah, suara lain dari belakang terdengar oleh Elsa dan Fatimah. Wanita itu adalah Anis Mufidah wanita asal Kota Bali alias (Bangkalan Asli).

“Elsa ini memang suka aneh akhir-akhir ini, ngapin coba mikirin indonesia yang sudah jelas-jelas merdeka. Tahun kemerdekaan negara kita ini 17 Agustus 1945 yang jelas tak bisa dipungkiri lagi, catat dibuku dan di lemarinya takut kamu lupa lagi biar yakin juga, kalau negara kita ini sudah merdeka.” Tegur anis, wanita yang tak begitu memikirkan perasaan orang lain meski dirinya sudah kuliah dia terkadang berpikiran layaknya anak SMA.

Elsa yang sedari tadi hanya diam, tak menggubrisnya apa yang dikatakan oleh temen asramanya itu. Sampai akhirnya adzan ashar di masjid yang megah itu dikumandangkan. Hampir Semua santri di pondok al-Ma’arif itu, berbondong-bondong mengunjungi rumah allah tuk melaksanakan sholat ashar berjama’ah.

Bagi santri, lima bulan adalah perjalanan waktu yang sangat singkat jika dijalani dengan aktivitas yang padat. Apa lagi di pondok itu selain paginya sekolah, sorenya harus mengikuti kajian yang menjadi rutinitas setiap hari. Selain itu, pondok al-Ma’arif merupakan pondok yang mashur. Karena santrinya terlalu sering memenangkan perlombaan bahasa inggris di berbagai perlombaan. Baik tingkat Kebupaten, Provinsi, atau Olimpiade Bahasa Asing, bahkan sampai ada yang menjuarai tingkat nasional pada tahu 2013 lalu. Pondok ini memang tidak begitu salaf seperti pondok yang lainnya. Pondok moderen dengan wajib berbahasa inggris setiap hari bagi santrinya. Sudah pantas kalau jadi lirikan oleh pondok-pondok yang ada di Madura umumnya, khususnya oleh pondok-pondok yang berada di kota sholawat itu.

Baca Juga  Revitalisasi Pasar di Pamekasan Tunggu Suntikan Dana dari Pemerintah Pusat

* * *

“Mbak, Apakah mbak masih ragu dengan kemerdekaan Indonesia sekarang ini?” tanya Fatimah lewat chatan di WA nya.

“Lah kok nanya itu dek. Kenapa? balas Elsa, dengan sebutir tanda tanya di belakang ucapannya.

“Bukannya mbak sendiri yang bilang waktu di pondok, dan di tegur oleh mbak Anis. Ingatkan?” Sambung Fatimah lewat pesan itu.

“Oh,,, iya. Emangnya adek Fatimah dak merasakan kejanggalan terhadap negara kita khususnya bagi generasi muda bangsa Indonesia? tanya Elsa lebih menekan Fatimah.

“Tidak mbak.” balasnya singkat.

“Oh… gini dek. Kenapa mbak meragukan kemerdekaan negara kita ini. Sebab negara kita sekarang, jauh sangat berbeda dengan tahun di zamannya Pak Soekarno dan Pak Hatta ataupun di waktu Orde Lama, hingga Orde Baru datang dengan dalih ingin memperbaiki kemerdekaan atau menyempurnakan kemerdekaan indonesia dari segi ketatanegaraannya. Pada tahun 1950-1960 an, telah terjadi caruk maruknya politik. Namun, pada saat itu pula para  pemuda indonesia dari berbagai kota bersatu untuk menempatkan para oknum-oknum PKI yang bersarang di dalam tubuh NKRI. Dan pada akhirnya permasalahan itu sedikit bisa teratasi meski belum sepenuhnya selesai,”

“Mbak, lanjut nanti ya. Aku di panggil umi,”

Chatan pun tertunda setelah Fatimah mengirim pesan yang berisi pemberitahuan. Elsa yang juga mempunyai kesibukan mengirim pesan balasan.

“Dek kita ngopi lain waktu ya. Biar lebih enak dan tidak ngaur ngopinya, ajak juga senior kita tuh mbak Rohimah. Dia pasti akan memberikan pencerahan dengan apa yang kita ragukan sekarang, ok.”

Baca Juga  Pamekasan Cari Pemimpin, Ulama, Politisi, Pengusaha, Birokrat atau Kalangan Petani?

“Siap mbak” balasnya.

Kedua perempuan itu seakan memang ditakdirkan untuk membahas konflik-konflik yang harus dibenahi di negaranya itu. Selain dari pada itu keduanya memang memanfaatkan liburan pesantren tidak hanya sekedar mengobati rindu pada orang tuanya. Tapi, mereka masih dalam koridor kesantriannya dalam artian mereka selalu menyempatkan waktunya untuk sekedar berdiskusi meski lewat gawai yang mereka miliki. Bagi mereka gawai adalah alat untuk memperkaya literasi bukan untuk memamerkan kecantikan dirinya yang diberikan Robb_nya.

Elsa yang kebetulan melihat Anis meluncurkan sepedanya di memanggil wanita berwajah bulat itu. Elsa yang tak juah untuk menghampiri Anis langsung memberitahu bahwasanya dirinya akan membahas keraguan dirinya atas kemerdekaan negaranya itu. Juga memberitahu akan mengajak senior asramanya mbak Rohimah pada sore nanti.

Di ufuk barat langit tak lagi berwarna biru berawan putih. Keindahan kini menjadi milik senja, dengan gagahnya ia memperlihatkan warna ke emasannya demi meraih pujian semata dari mahluk lain. pohon jati menangungi tiga perempuan dengan bayangannya, yang mempunyai niatan baik tuk menggali ilmu dan memperbaiki diri sebagai perempuan sejati untuk membela negeri di kemudian hari nanti.

“Kita ditakdirkan menjadi kaum hawa, tidak menutup kemungkinan menjadi perempuan lemah atau sebaliknya. Lalu kalian para sahabat-sahabatku mau manjadi siapa?” tanya wanita yang kerap disapa mbak Rohim itu.

“Tentu saya akan memilih ke pribadian seperti Marsinah, yang tidak takut dengan kematian. Seorang buruh yang rela mati untuk kesejahteraan kaum hawa.” Dengan nada optimistis, fatimah menjawab pertanyaan itu.

“Jawaban saya tidak jauh beda dengan adek Fatimah. Akan tetapi tokoh yang aku ambil adalah wanita yang hidup dimasa nahkoda kedua bapak Soeharto. Izmi Maryam BA. Merupakan seseorang yang sangat berani terhadap pemerintah di waktu indonesia mengalami caruk-maruk politik, dan disana hadir sesosk perempuan yang dengan lantang meneriakkan kebenaran tanpa memikirkan masa kelanjutan hidupnya ke depan. Jadi saya tidak ingin menjadi perempuan yang lemah tanpa ada kontribusi terhadap negara.” Wanita kelahiran jawa tidak kalah optimis dengan Fatimah. Memberikan jawabannya dengan nada seakan-akan dia adalah pahlawan bagi negaranya.

Baca Juga  512 Tenaga Kesehatan Gagal Divaksin Corona, Kenapa?

“Saya sangat mengapresiasi atas jawaban yang spektakuler dari kalian berdua. Akan tetapi, yang perlu kalian sadari tokoh-tokoh yang dijadikan sebagai acuan dalam hidup kalian itu tidak melalui proses yang gampang dan tidak pula kesehariannya hanya diisi dengan catatan atau bermain gema di gawai. Namun mereka harus melalui beberapa kesulitan-kesulitan untuk mejadi seorang yang pemberani, dan pula mereka menjadikan malam sebagai siang mereka yang dipergunakan untuk mengasah dirinya dengan memperluas pengetahuannya. Berbagai buku dimakan oleh otaknya baik buku tentang hukum, yang berkaitan dengan politik, strategi, sosial, dan buku kiri. Jadi mari perkuat literasi kita untuk menyelamatkan negeri ini. sebab tidak menutup kemungkinan kita juga akan terbang ke dunia kekerasan yaitu dunia politik.” Megah mirah tak lagi tampak diujung barat, Kelelawar berterbangan di atas mereka tanda bahwasanya diskusi telah usai dan bergegas tuk menyambut malam. Dari diskusi itu Fatimah dan Elsa seakan memperoleh banyak pengetahuan dalam menyikapi suatu polemik-polemik kehidupan. Bagaimana tuk menjadi perempuan yang berdedikasi, pemberani seperti orang yang diidolakannya.

Penulis adalah pengurus Teater Kaged IAI AL-Khairat Pamekasan, Ma’ruf

>> Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Qolbi.id WhatsApp Channel : Klik Disini. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.